Salah satu permasalahan di Indonesia adalah meningkatnya resistensi / kekebalan bakteri salmonella Typhi terhadap antibiotik. Hal tersebut disebabkan oleh over diagnose demam tifoid dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Darmowandowo, 2006). penyakit ini dapat menyerang anak-anak hingga dewasa.
Menurut keterangan dr. Arlin Algerina, SpA, dari RS Internasional Bintaro, Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun.
Etiologi
Demam
tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s.
Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang
lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih
berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. (Ashkenazi et al,
2002)
Salmonella
merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan
glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi
tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara
aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies
resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan
sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15
menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah
selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu
dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.
(Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella
memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas
sedangkan antigen H adalah protein labil panas. (Ashkenazi et al, 2002)
Patogenesis
S.
typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke
usus halus. (mansjoer, 2000) Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa
menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I.
Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II (Darmowandowo, 2006).
Interaksi
Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch
of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala
panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi
sumsum tulang dll (Darmowandowo, 2006)
Imunulogi.
Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi
mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik,
diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh
makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler (Darmowandowo, 2006)
Gejala Klinis
Keluhan
dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti
flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
-
Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
-
Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
-
Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma. (Darmowandowo, 2006)
Diagnosa
-
Amanesis
-
Tanda klinik
-
Laboratorik
-
Leukopenia, anesonofilia
-
Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III
-
Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi
-
Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
-
Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M (Darmowandowo, 2006)
-
Penatalaksanaan
Pengobatan
penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif
melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi
dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi
dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. (Mansjoer, 2001)
Diet
dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga
perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.
(Mansjoer, 2001)
Pada
kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun
kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. (Mansjoer, 2001)
Pengobatan Medakamentosa
Obat-obat
pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III.
Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan
fluorokuinolon.
-
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi
-
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
-
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari
-
kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada
kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari,
intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. (Darmowandowo, 2006)
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
-
Komplikasi intestinal
-
Perdarahan usus
-
Perforasi usus
-
Ileus paralitik
-
-
Komplikasi ekstraintetstinal
-
Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
-
Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
-
Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
-
Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
-
Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
-
Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
-
Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
-
Pada
anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan
kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna. (Mansjoer, 2001)
Pencegahan
Pencegahan
demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan
higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat
menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan
dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang
masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)
Ada
dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang
diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang
kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan
secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak
direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong
yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang
yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
(Department of Health and human service, 2004)
Vaksin
tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi,
oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum
bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis
ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki
resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin
tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari
secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus
diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan
setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
(Department of Health and human service, 2004)
Ada
beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per
injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi
dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan
dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang
dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya
saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis
lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh
mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid
yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau
penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang
mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem
imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita
kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau
obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik. (Department of Health and human
service, 2004)
Suatu
vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang
menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.
Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada
vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah
: demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per
100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang
per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak
enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi). (Department
of Health and human service, 2004)
0 komentar:
Posting Komentar